Pemerintah berencana melakukan konversi 5.200 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di 2.130 lokasi demi mengejar target bauran energi 23% pada tahun 2025 mendatang.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030 disebutkan pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk PLTD pada tahun 2019 mencapai 2,16 juta kilo liter (kl) atau sekitar 4,15% dari total produksi listrik.
“Dan selanjutnya direncanakan semakin menurun hingga 0,4% pada tahun 2025 dan digantikan dengan energi yang lebih ramah lingkungan dan kompetitif,” tulis dokumen RUPTL 2021 – 2030
Konversi PLTD ini menjadi salah satu langkah juga untuk menekan konsumsi BBM dari impor dan meningkatkan efisiensi pembangkit EBT khususnya di daerah yang terisolasi.
Di tahap awal konversi PLTD akan dilakukan di 200 lokasi dengan kapasitas sekitar 225 megawatt (MW). Terdapat potensi konversi PLTD ke pembangkit EBT hingga sekitar 1,2 gigawatt (GW) jika melihat PLTD yang masih operasi sampai saat ini.
“Pada tahap awal di 200 lokasi akan dilakukan konversi pada unit pembangkit dengan usia lebih dari 15 tahun, di antaranya berlokasi di sistem kelistrikan isolated dan dengan konsumsi bahan bakar di atas 0,2738/kWh, serta kriteria lainnya di luar kriteria tersebut,” kutip RUPTL.
Lebih lanjut disampaikan dalam RUPTL pembangkit BBM ini akan digantikan dengan EBT dan teknologi EBT yang akan digunakan menyesuaikan potensi energi setempat.
“Penggunaan potensi energi setempat diprediksi akan memangkas bukan hanya waktu dan tenaga, tapi juga biaya yang diperlukan untuk mengangkut bahan bakar menuju pembangkit.”
Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo mengatakan penggunaan BBM sebagai bahan bakar pembangkit di daerah terpencil memiliki ongkos yang sangat mahal.
“Menggunakan BBM di daerah terpencil dengan biaya transport yang tinggi itu mendekati 3.500-4.500 per kWh,” paparnya dalam ‘Kompas Talks bersama IESR’ melalui kanal YouTube, Selasa (2/3/2021).
PLTD yang mahal ini akan diganti dengan pembangkit EBT berbasis kearifan lokal, salah satunya dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Tujuannya agar PLTS ini bisa dijadikan base load, maka diperlukan energy storage (penyimpanan energi) sehingga beroperasi 24 jam.
Seperti diketahui PLTS memiliki ketergantungan pada matahari. Jika penggunaan energy storage ini bisa lebih murah dari PLTD, maka bakal menguntungkan PLN selain mendorong bauran EBT.
Lebih lanjut, Darmawan mengatakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) nantinya bakal bersaing dengan EBT. Di mana dulu harga listrik PLTU menjadi yang paling murah di kisaran 5,5 sen per kWh sementara EBT 30 sen per kWh.
Namun kondisi berbalik terjadi sekarang di mana harga listrik dari EBT untuk PLTS tanpa baterai sudah mendekati 3,6 – 3,7 sen per kWh, sementara batu bara 5,5 – 6 sen per kWh.
“Tentu saja dengan baterai masih mahal 12 -15 sen per kWh, tetapi kita berinovasi. Dulu nggak ada baterai lithium sekecil ini, ke depan akan semakin murah,” tegasnya.
Sumber: CNN Indonesia