PLTS, atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (bukan tenaga sampah ya!!) merupakan salah satu jenis pembangkit listrik non-konvensional. Kenapa disebut non-konvensional? Karena cara/proses menghasilkan listrik pembangkit ini berbeda dengan pembangkit lainnya yang umumnya menggunakan generator sebagai penghasil listrik. Mari kita lihat prinsip kerja beberapa pembangkit berikut (dengan penjelasan yang disederhanakan) :
- PLTU, Pembangkit Listrik Tenaga Uap, umumnya menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Batu bara dibakar untuk memanaskan air, air yang menjadi uap akan memutar turbin, turbin dikopel dengan rotor generator dihasilkanlah listrik.
- PLTG, Pembangkit Listrik Tenaga Gas. Gas digunakan untuk memutar turbin yang dikopel dengan rotor generator dan dihasilkanlah listrik.
- PLTD, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau dikenal juga Genset (generator set), memanfaatkan diesel sebagai bahan bakar dimana tekanan gas yang dihasilkan dari pembakarannya digunakan untuk memutar prime mover yang memutar rotor generator dan dihasilkanlah listrik.
- PLTP, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, atau lebih dikenal juga Geothermal Energy memanfaatkan uap yang dihasilkan oleh panasnya magma untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator dand ihasilkanla hlistrik.
- PLTA, Pembangkit Listrik Tenaga Air memanfaatkanaliran air untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator dan dihasilkanlah listrik. begitu pula dengan skala lebih kecilnya PLTMH, Pembangkit Listrik Tenaga Microhydro memiliki prinsip kerja yang hampir sama.
- PLTB, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Angin) memanfaatkan angin untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator dan dihasilkanlah listrik
- PLTN, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir memanfaatkan reaktor nuklir untuk memanaskan air menjadi uap dan uap itu digunakan untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator dan dihasilkanlah listrik.
- Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut ataupun Pembangkit Listrik Tenaga Ombak, masih jarang kita temui untuk saat inin amun pada prinsipnya memanfaatkan arus laut ataupun ombak untuk memutar turbin yang dikopel dengan generator dan dihasilkanlah listrik.
Bisa anda lihat bahwa sebagian besar pembangkit listrik yang ada saat ini memanfaatkan suatu bahan bakar/alam untuk memutar turbin yang dikopel ke rotor generator untuk menghasilkan listrik. Meskipun demikian jika kita pelajari lebih mendalam setiap pembangkit listrik memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan peralatan yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit pun berbeda. Hampir semua menggunakan turbin dan generator meskipun dengan jenis turbin berbeda-beda, ada turbin angin, turbin air, turbin uap, dll. Nah prinsip kerja seperti inilah yang disebut konvensional.
Lalu bagaimana dengan PLTS? Apakah sinar matahari digunakan untuk memutar turbin lalu memutar generator dan menghasilkan listrik?
Sebetulnya untuk saat ini (yang saya ketahui), pemanfaatan energi surya (matahari) ada 2 metode. Yang pertama memanfaatkan panas matahari dengan mengkonsentrasikan sinar matahari ke satu titik (receiver), panas yang dikumpulkan direceiver bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik dengan cara konvensional (memanaskan air, menjadi uap dan memutar turbin dan generator yang menghasilkan listrik), teknologi ini dikenal dengan nama Concentrating Solar Power (CSP). Yang kedua adalah memanfaatkan sinar matahari langsung menjadi listrik tanpa harus memutar turbin dan generator (non-konvensional), teknologi inilah yang dikenal sebagai Photovoltaic atau sel surya. PLTS yang akan kita bahas dalam tulisan ini adalah mengenai Photovoltaic Power System.
Photovoltaic atau sel surya mengubah cahaya matahari menjadi arus listrik (cahaya loh ya, bukan panas). Beberapa orang yang saya temuis ering berkata:
“nah lagi panas, berarti daya yang dihasilkan sel suryanya makin gede”,
Ini jelas salah, karena semakin panas justru daya yang dihasilkan sel surya malah turun, yang benar semakin terang maka daya yang dihasilkan semakin tinggi, walaupun memang cahaya dan panas matahari sering kali berbanding lurus. Nah loh, kalau begitu saling menghilangkan donk? Cahaya nambahin, panas nurunin? Tidak menghilangkan karena dampak peningkatan daya oleh cahaya masih lebih tinggi. Irradiance atau daya radiasi per unit area dijadikan parameter untuk melihat tingkat pencahayaan/radiasi energi matahari yang ditangkap oleh sel surya, dengan satuan umum W/m2. Alat/sensor yang biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat irradiance adalah pyranometer.
Untuk sel surya sendiri jenisnya beragam, namun yang umum dan saat ini banyak digunakan adalah jenis Crystalline baik itu Monocrystalline ataupun Polycrystalline. Selain crystalline, jenis sel surya yang banyak digunakan adalah Thin Film, meskipun kemajuan teknologi membuat efisiensi dari bahan thin film meningkat pesat akhir-akhir ini, akan tetapi sampai saat ini masih jarang diaplikasikan, dikarenakan harga yang masih relatif tinggi. Dalam sistem PLTS, kita akan lebih familiar dengan modul surya dibandingkan sel surya. Modul surya adalah suatu gabungan dari beberapa sel surya. Sebagai contoh, modul surya 100 Wp terdiri dari 36 sel surya yang dirangkai seri, modul surya 200 Wp terdiri dari 72 sel surya yang dirangkai seri. Besar daya modul surya dan jumlah sel surya yang dirangkai berbeda-beda sesuai dengan pabrikan.
Berbeda dengan pembangkit listrik lainnya, dalam sistem photovoltaic, kapasitas dayanya sering dituliskan Wp. Wp merupakan singkatan dari Watt Peak yaitu daya maksimum yang dihasilkan pada kondisi STC (Standard Test Condition). Kondisi STC pada pengujian sel surya adalah : Irradiance = 1000 W/m2, Temperature = 25 Celcius, dan AM (Air Mass) = 1.5 global. Dalam aplikasinya kondisi lapangan berbeda dengan kondisi STC, nilai irradiance akan berubah setiap waktunya begitu pula dengan temperature. Sebagai gambaran, nilai irradiance pada siang hari (cerahtakberawan) sekitar 1000 W/m2, namun bisa saja lebih ataupun kurang tergantung lokasi. Sel surya memiliki nilai koeffisien temperature untuk mengetahui pengaruh temperature terhadap daya yang dihasilkan. Sebagai contoh suatu sel surya memiliki koeffisien temperature terhadap daya sebesar -0,45%/oC, artinya tiap kenaikan 1 derajat Celcius, dayanya akan berkurang sebesar 0,45% dan sebaliknya.
Salah satu hal yang menjadi bahan penelitian dari sel surya adalah terkait effisiensinya yang saat ini masih rendah. Saatini, hasil penelitian telah menemukan sel surya dengan effisiensi di atas 40%, namun yang banyak beredar di pasaran effisiensinya masih di kisaran 14-20% (Crystalline) dan 9-15% (Thin Film). Effisiensi sel surya dihitung dari berapa persen energi matahari yang bisa diserap oleh sel surya. Sebagai contoh, bila energi radiasi matahari(Irradiance) 1000 W/m2 diserap oleh suatu modul surya dengan effisiensi 15%, makadaya yang dihasilkan modul surya sebesar : 1000 x 15% = 150 W/m2. simplenya, effisiensi yang lebih tinggi menunjukan modul surya akan menghasilkan daya yang lebih tinggi dengan luas yang sama.
Kembali ke sistem pembangkitan, pembangkit lainnya umumnya menghasilkan listrik denga narus bolak-balik (AC, Alternating Current) sedangkan Photovoltaic menghasilkan listrik dengan arus searah (DC, Direct Current). Untuk bisa menghasilkan listrik dengan arus AC, dibutuhkan inverter untuk mengubah arus DC menjadi AC. Konfigurasi dari Photovoltaic system ini bisa berbeda-beda tergantung dari aplikasinya, beberapa aplikasi dari Photovoltaic system diantaranya : PLTS Stand Alone (Off Grid), PLTS Hybrid, PLTS On Grid, SHS, dll.